Tuesday, February 27, 2007

Tak Pernah Terhenti

Lelaki tua itu berjalan melewati terowongan, terus menerobos teriknya matahari siang menyebrangi jalan raya. Dengan pundaknya dan bantuan sepotong kayu, ia memikul dagangannya. Terdiri dari berbagai macam mainan kertas untuk anak perempuan, mobil-mobilan, pistol-pistolan, dilengkapi ’kaleng kerupuk’ tapi mungkin bukan berisi kerupuk, bisa jadi itu adalah gulali. Lelaki tua itu tampaknya seorang penjual mainan dan gulali untuk anak-anak SD. Seperti siang ini pun, beliau akan beranjak menuju SD lain sebelum waktu sekolah usai.

Ritual yang sama dari hari ke hari, mulai Senin sampai Sabtu. Setidaknya beliau masih memiliki hari Ahad untuk sekadar menarik napas atau pun bercanda ria dengan cucu-cucunya. Dugaanku, dengan usia sekitar 65-70 tahun itu, pastinya banyak cucu di rumahnya. Dengan balutan baju sederhana dan alas kaki sendal jepit, serta menelisik lebih dalam ke dalam gesture beliau maka akan terasa beratnya hidup yang masih harus beliau tanggung.

Jika beliau masih memiliki istri, mungkin beratnya beban ini masih bisa dibagi. Entah dengan bercerita atau sekadar mendapatkan hangatnya cium tangan dari istri tercinta. Jika wanita itu sudah tidak ada, setidaknya ia memiliki cucu. Mungkin beliau memiliki anak dan telah menikah. Dilihat dari latar belakang ekonomi beliau, bisa jadi anak beserta menantu-nya tinggal bersama beliau dan cucu-cucunya bisa memberikan kehangatan dan canda tawa.

Pilihan untuk tetap menggeluti pekerjaan beliau itu, tampaknya sangat berat jika dibandingkan dengan usia yang ditandai dengan jumlah rambut putih beliau. Pastinya ada hal yang sangat besar yang masih harus beliau tanggung, entah apa itu. Padahal dengan kondisi seperti itu seharusnya hidup beliau sudah ditanggung oleh anaknya.

Dengan berjalannya waktu dan umur yang terus habis, seharusnya beliau memiliki lebih banyak waktu untuk beristirahat dan ’memperbaiki’ hidupnya. Tapi apa mau dikata, beban ekonomi itu masih harus ditanggung. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi lelaki tua itu selain menjadi pedagang mainan keliling SD.

Semangatnya untuk terus berjuang membuncah meski secara kasat mata terlihat bahwa ia telah letih. Keberanian untuk memilih jalan hidup sebagai pedagang mainan keliling menunjukkan bahwa beliau ingin dapat terus memberi, setidaknya untuk keluarganya. Meski di saat yang lain telah terhenti, beliau masih melaju dengan gagah menyusuri jalan raya melawan polusi kendaraan dan teriknya matahari.

Namun, teriknya matahari telah menjadi kawannya, bisingnya kota siang ini telah menjadi rumah di hatinya, memori dan kerinduan atas senyuman hangat istri telah menjadi gelora di sanubarinya dan membisikkan kata semangat setiap detiknya. Wajah teduhnya menunjukkan bahwa seakan kehidupan kota ini selalu indah di mata beliau. Dan bahwa ia tak akan terhenti melaju untuk selamanya, hingga jiwa dipanggil oleh Sang Khalik. Beliau telah menyadarkan bahwa hanya bagi mereka yang tak pernah terhenti-lah Allah menyiapkan balasan yang setimpal. Semoga Allah meridhoi hidupmu, Pak...

280207

That's What Friends Are For

And I never thought I’d feel this way
And as far as I’m concerned
I’m glad I got the chance to say
That I do believe I love you

And if I should ever go away
Well then close your eyes and try
To feel the way we do today
And then if you can remember

Keep smiling, keep shining
Knowing you can always count on me, for sure
That’s what friends are for
For good times and bad times
I’ll be on your side forever more
That’s what friends are for

Well you came in loving me
And now there’s so much more I see
And so by the way I thank you

Oh and then for the times when we’re apart
Well then close your eyes and know
The words are coming from my heart
And then if you can remember

*old song, but full of meanings
270207
uhibbukum fillah,
selamat berjuang dan bertebaran di muka bumi para pejuang...

Tuesday, February 13, 2007

Menyentuh Pelangi

Alkisah seorang tuna netra bernama Kusnadi, yang berprofesi sebagai tukang pijat. Cerita ini dikisahkan oleh seorang trainer yang menjadi langganan Mas Kus ini ketika mahasiswa dulu. Saat itu Mas Kus berusia 27 tahun. Singkat cerita, pada suatu kesempatan si trainer ini bertanya-tanya tentang kehidupan sang tukang pijat langganannya itu. Berpenghasilan seadanya dan tinggal mengontrak di sebuah tempat kos. Si trainer ini bertanya mengapa tidak tinggal saja di mess karena sewa kamar-nya jauh lebih murah. Kemudian Mas Kus menjawab, bahwa ia ingin membantu adik-adiknya (sesama tukang pijat-tuna netra, red) dengan memberikan kamar mess itu.

Tak habis pikir, si trainer ini bertanya kembali, kenapa ia berlaku begitu. Mas Kus mejawab bahwa kini ia sudah berpenghasilan dan karena itu ia harus belajar mandiri. Si trainer ini bertanya kembali, apakah penghasilannya cukup dan masih tersisakah uang untuk ditabung. Mas Kus kembali menjawab, dengan tenang, bahwa penghidupannya masih mencukupi dan masih bisa menabung, walaupun hanya beberapa perak.

Kembali penuh keheranan, si trainer bertanya, untuk apa uang tabungannya kelak. Mas Kus mengungkapkan kisahnya, bahwa ia terlahir buta dan merasa sebagai orang paling naas di dunia. Tidak pernah melihat indahnya mentari pagi, warna-warni bunga, dll. Namun, ketika orang tua-nya memasukkan ia ke panti, ia sadar bahwa dirinya tidak se-naas itu. Ada banyak orang yang mengalami nasib serupa.

Sejak saat itu, ia bertekad untuk bisa memberikan kebahagiaan untuk orang lain, meski dengan keterbatasannya. Ia tidak ingin terkungkung dalam perasaan itu. Oleh karena itu, tabungannya kelak akan dibelikan gitar agar dengannya ia dapat membahagiakan orang dengan nyanyian. Si trainer mendengar dengan seksama dan mulai dihinggapi perasaan aneh. Sederhana, menyentuh, dan dalam.

Setelah beberapa hari, si trainer berkunjung ke rumah Mas Kus dan membawakan gitar miliknya. Ia kemudian menyodorkan gitar itu dan Mas Kus mulai memainkan beberapa lagu. Ada pemandangan yang indah di situ, raut wajah Mas Kus menyiratkan kebahagiaan yang tidak terucap. Si trainer mengatakan kepada Mas Kus bahwa ia dengan tulus-ikhlas ingin meminjamkan gitar itu sampai Mas Kus memiliki gitar sendiri.

Namun, seperti yang telah diduga sebelumnya, Mas Kus memasukkan gitar ke sarungnya dan mengembalikan kepada si trainer. Sekali lagi si trainer mengatakan bahwa ia tulus-ikhlas dengan semua ini. Apa jawaban Mas Kus? Katanya, ’ijinkan saya membahagiakan adik-adik saya dengan keringat saya sendiri’... Perasaan itu hinggap lagi, sederhana, menyentuh, dan semakin dalam.

Ada lagi kisah yang lain, kalau sudah pernah nonton film-nya pasti tahu kisah ini. Kisah seorang anak perempuan 15 tahun, Ikeuchi Aya yang divonis mengidap penyakit langka yang menyerang otak (lupa namanya^_^) dan menyebabkan kematian secara perlahan. Yup, 1 litre of tears. Diawali dengan kematian fisik akibat rusaknya koordinasi dengan otak secara bertahap hingga kematian sebenarnya.

Tapi, apa yang telah dipilih Aya adalah sesuatu yang luar biasa. Melalui Aya No Niki (buku harian Aya) yang diterbitkan, ia telah menjadi inspring to stay alive bagi banyak orang, terutama orang yang bernasib serupa. Hingga akhir hayatnya ia tetap menjadi pribadi yang bersemangat dan setelah kepergiannya ia tetap hidup di hati banyak orang. Jadi teringat, keinginannya di akhir buku harian : live on, forever...

Pastinya masih banyak kisah lainnya tentang kesejatian manusia di sekitar kita. Tentang makhluk bernama manusia yang ditakdirkan dengan keterbatasan, namun hendak atau bahkan telah berhasil menyentuh pelangi dan menjadi sebuah kemanfaatan bagi manusia lainnya. Kisah yang terkadang sederhana, bisa jadi menyentuh, namun yang pasti sangat dalam makna-nya.

Fragmen-fragmen kehidupan ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk tarbiyyah (pengkaderan) langsung dari Allah kepada kita, jika dan hanya jika kita mau melihat, berpikir, dan merasakan sekitar. Alhamdulillah, atas kesempurnaan fisik penciptaan kita. Namun, kini pertanyaannya adalah sudah sampai tangga mana kita hendak menyentuh pelangi?

270107
There’s always a stairway for reaching the rainbow, Tih…^_^
But, you need to reach it step by step!

Sunday, February 11, 2007

Seberapa Kuat Saya?

Banjir Jakarta. Tampaknya dua kata itu sudah cukup menimbulkan berbagai lintasan pikiran di benak semua orang. Miris, sebuah kondisi ‘luar-biasa’ yang melingkupi ibukota negara ini, yang dengannya negara ini terkenal. ‘Wajar saja kejadiannya seperti ini, ini kan Indonesia…’ sedih deh mendengar opini-opini bernada serupa dari lingkungan sekitar. Tapi, apa mau dikata, memang ini-lah Indonesia

Banjir yang selalu terjadi di kota-kota besar Indonesia ketika musim hujan datang, sedikit banyak menimbulkan perasaan bersalah. Mungkin karena latar belakang pendidikan saya yang berkutat di masalah lingkungan. Saya meyakini bahwa sesungguhnya terdapat berbagai macam solusi untuk menanggulangi bencana ini. Kuncinya adalah konservasi air.

Entah mengapa, beberapa bulan menjelang saya memutuskan untuk ’keluar’ dari kampus(insyaAllah), ada sebuah hantaman besar pada pola pikir keilmuan yang sudah didapatkan. Dengan semua kondisi ini –kekeringan saat kmarau,kebanjiran saat musim hujan, sampah menggunung, citarum terus tercemar,dll – tampaknya saya tidak bisa berbuat banyak ketika tidak didukung oleh ’kekuatan politik’.

Secara umum, masalah-masalah lingkungan yang terjadi langsung berimbas negatif kepada masyarakat. Jelas-jelas telah terjadi ketidakadilan dan pendholiman ummat secara-secara besar-besaran (coba lihat air muka para korban banjir Jakarta,sedih banget!!). walaupun, ada andil dari masyarakat juga, sepert buang sampah ke kali, buat rumah di bantaran kali, dll. Dengan itu, saya berkesimpulan bahwa keilmuan saya lebih cenderung bersifat sosial kemasyarakatan, dibanding ilmu kerekayasaannya.

Saya bingung karena ternyata realitas di jurusan TL ada sebuah dikotomi antara dua hal tersebut. Ilmu-ilmu terkait pembuatan kebijakan, peraturan, pengawasan,dsb hanya menjadi mata kuliah pilihan. Dari situ saya melihat bahwa pemikiran sarjana TL ini memang diarahkan untuk berlaga di jalur non-sosial (kerja di sebuah perusahaan atau berwiraswasta). Lalu, siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap masalah lingkungan ini jika sarjana-sarjana TL tidak berada di tempat seharusnya??

Pembuat kebijakan adalah salah satu jalur kekuatan untuk memperbaiki kondisi ini. Tentunya dengan dukungan analisis ilmiah. Setelah itu, yang bermain adalah seberapa kuat saya untuk memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan. Mungkin di situ beratnya, tidak semua orang, atau bahkan hampir semuanya menyerah dan kemudian kembali ke jalur non-sosial.

Pertanyaannya, apa saja yang dibutuhkan untuk memperkuat diri ketika suatu saat nanti dihadapkan pada ’peperangan’ itu? Banyak hal, terutama kemandirian finansial sebelum masuk ke dunia politik itu. Saat ini yang terjadi, justru dunia politik itu-lah yang dijadikan tempat mencari nafkah. Ini fatal. Akibatnya kepentingan umum dikesampingkan atas nama kepentingan pribadi/golongan. Mengerikan! Astaghfirullah... Tapi pertanyaan pertama dan utama, seberapa kuat saya kelak?

110207