Wednesday, December 20, 2006

Thank Allah, I’m a woman.

Beliau memiliki hati yang luas untuk mampu mencintaiku dan menerima cintaku, apa adanya. Beliau pun memiliki emosi yang tinggi dan dalam untuk memahami amarah dan bahagiaku. Dengan tangan lembutnya, beliau kerap memberikan elusan kehangatan di kepalaku. Kadang juga pelukan penyemangat di kala aku jatuh. Ketika itu pula, beliau menyediakan bahunya yang kuat untuk menjadi sandaran. Saat aku merasa bumi ini tidak lagi dapat dipijak, kata yang bermakna menjadi mercusuar asaku. Sehingga aku mampu bangkit kembali karena Allah telah menganugerahiku seorang malaikat bumi… Beliau adalah ibu-ku. Beliau adalah wanita terhebat yang pernah kutemui.

Thank Allah, I’m a woman. So that, I could be a mother in future…


Kemandirian dan ketawadhu’an senantiasa terpancar dari wajahnya. Beliau adalah ibu kedua bagiku. Liku hidupnya yang telah Allah takdirkan memberikan banyak hikmah dan keteladanan. Kesabarannya akan pilihan-pilihan yang Allah tetapkan dan pergilirkan, tidak membuatnya goyah. Nyatanya beliau masih disini, entah apa jadinya jika semua itu terjadi padaku. Beliau apa adanya, sederhana ,dan penuh cinta. Beliau mengajarkan bahwa ujian hidupku bukanlah akhir dari segalanya. Itu adalah bukti cinta Allah.

Thank Allah, I’m a woman. So that, I could be like her…


Jiwa yang teguh dan pandangan yang mantap, membuatku terpesona padanya. Sejak tahun awal di kampus ITB, beliau telah ‘menetapkan’ pilihan aktivitas untukku (atau dijebak yaJ). Mulanya aku takut-takut, namun dengan jiwa juang yang tinggi dan keteguhan atas apa yang diyakininya, memberikan keberanian untukku. Kematangan pemikiran dan pemahaman atas kondisinya sebagai wanita tidak menyurutkan langkahnya untuk bisa one step ahead dari lelaki. Pulang malam karena harus sidang kongres sampai malam atau berkata ‘hitam adalah hitam’ di depan menteri-nya menunjukkan bahwa beliau adalah wanita mandiri. Meski sekarang sulit bagiku menemukan bayangannya, namun pelajaran selama setahun itu telah meninggalkan sketsa wajahnya di hatiku.

Thank Allah, I’m a woman. So that, I could be like my ‘cool’ sister…

*happy mom’s day, ibu…
happy mom’s day, for all women in this world who will be a mother!!*
221206

Hmm...

~sebuah renungan~

Manusiawi memang
Tatkala butuh bicara tentang cinta

Manusiawi memang
Ketika berpetualang kata tentang rasa suka
Ada bahagia menyelusup

Manusiawi memang
Jika menggantungkan harap
Kelak bertemu si belahan jiwa

Hmm…
Itu manusiawi dilakoni manusia
Manusia dunia kebanyakan

Tapi,
Pantaskah itu dilakoni oleh manusia-manusia luar biasa?
Wajarkah jika perasaan itu diumbar di tengah jalan cahaya ini?
Lalu, apa bedanya manusia luar biasa itu dengan manusia kebanyakan?

Hmm…

Jika kini gerbong cahaya ini tak pernah melaju cepat
mungkin itu karena ketidakpantasan dan ketidakwajaran
ketika berbicara cinta.

Berbicara pada tempat yang salah
Bersikap pada waktu yang salah.
Sehingga Allah cemburu pada cinta.

Tidak mungkin ada yang bilang tak butuh cinta.
Karena manusia tidak bisa meremehkan perasaan
Sebab, manusia menjadi manusia dengan perasaannya.
Ia adalah tempat persinggahan dua hal yang tersuci di dunia ini:
iman dan cinta.

Tapi, sekali lagi:
Berbicara pada tempat yang salah
Bersikap pada waktu yang salah.
Mungkin itu yang dilakukan ketika bicara cinta.

Maka, diamlah…
Sampaikan do’a untuk menjemput si belahan jiwa.
Biarkan rahasia ini hanya Allah yang tahu.
Bersabarlah, si belahan jiwa akan datang
Jika Allah berkehendak
Pun tidak di dunia
Si belahan jiwa akan hadir
di Jannah Allah kelak.

Biarkan rahasia ini hanya Allah yang tahu
agar jalan cahaya ini
memang benar-benar jalan menuju cahaya…

*…jika rasa itu tidak pernah ada, maka jangan disuburkan. Jika pernah ada, maka kendalikan-lah. Karena kuingin perasaan ini murni dan suci hingga akhirnya nanti ia akan menemukan tempat untuk berlabuh…*
191206

Karena kita tidak dianggap dewasa

~Sebuah kilas makna tentang mahasiswa~

Kampus Ganesha yang telah berdiri di pusat jantung Kota Bandung, hampir satu abad silam, menyimpan banyak asa. Di Jalan Ganesha no 10 ini, seluruh putra-putri terbaik bangsa dididik agar memiliki kemampuan untuk mengelola bangsa yang besar ini. Perubahan-perubahan terus dilakukan agar menjadi lebih baik. Menjalankan sebuah organisasi dengan terus menerus mengevaluasi diri, mengambil yang baik, dan membuang yang buruk. Ini adalah prinsip Kaizen, yang senantiasa dilakukan oleh penduduk Jepang dan menjadi modal keberhasilan negara berpenduduk asli Ainu ini.

Oleh karena itu sejak tahun 2000 lalu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 155/2000, ITB berubah status dari PTN menjadi BHMN. Perubahan status ini merupakan transformasi budaya (mind set) yang perlu dilandasi oleh pemikiran yang luas dan komprehensif (H.S. Dillon dlm pembukaan ART ITB). Sejogjanya, perubahan yang diusung oleh Pemerintah ini merupakan hasil evaluasi positif terhadap keberjalanan kehidupan perguruan tinggi. Bukan merupakan pelepasan tanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan.

Perubahan status ini mempengaruhi perubahan lapisan mahasiswa di ITB. Mahasiswa yang masuk melalui SPMB jumlahnya terus berkurang karena ITB mengadakan jalur masuk mandiri dengan biaya masuk yang tinggi. Dengan begitu, semakin banyak mahasiswa dari golongan ekonomi tinggi. Maka jangan heran jika kini lapangan parkir ITB dan sekitar Jalan Ganesha penuh sesak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pastinya perubahan ini memiliki potensi tersendiri, yaitu pemupukan entrepreneurship di kalangan mahasiswa. Hal ini dimungkinkan karena setidaknya mahasiswa ini memiliki kekuatan secara materi. Konsep ini akan dapat berkembang dan melatih kemampuan mahasiswa untuk mandiri. Juga, sebagai bekal paska kampus. Sehingga mampu menggeliatkan perekonomian umat dengan memperluas lapangan kerja.

Perubahan ini tentunya tetap berdasar pada terwujudnya visi Institut, yaitu Tri Dharma Institut, yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (ART ITB pasal 8 tentang penyelenggaran Tridarma Institut). Sehingga segala kebijakan dan arah gerak seluruh komponen Institut harus menunjang kepada tiga hal tersebut. Namun, sesungguhnya akan dibawa kemana ITB? Namun yang pasti, berdasarkan naskah Akademik ART ITB yang baru disahkan pada 1 September 2006, ITB akan dibawa untuk memenuhi tantangan jaman dengan memegang prinsip manajemen modern (good governance).Dengan itu, diharapkan proses pendidikan dan pembelajaran di ITB mampu mengarahkan pemikiran seluruh sivitas akdemika, khususnya mahasiswa yang menjadi cadangan keras (iron stock) bangsa Indonesia.

Dalam suatu masyarakat dimana akan diadakan pembangunan, partisipasi penuh dari kaum intelektual adalah mutlak (Zaman Peralihan, Soe Hok Gie,penerbit GagasMedia (20050). Keberadaan mahasiswa merupakan indikasi kaum intelektual suatu bangsa. Hal ini dikarenakan mahasiswa merupakan elemen yang mengalir. Kelak mantan mahasiswa ini harus mampu menjawab tantangan jaman dalam mengelola bangsa dengan menggunakan seluruh potensi kecerdasan yang dimiliki.

Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa selain kecerdasan otak (IQ) diperlukan kecerdasan emosi (EQ) untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Selain itu, diperlukan pula kecerdasan spiritual (SQ) yang merupakan temuan terkini secara ilmiah dan digagas oleh Danah Zonar dari Harvard University dan Ian Marshall dari Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif (ESQ, Ary Ginanjar Agustian). Oleh karena itu, dibutuhkan keseimbangan pemenuhan kebutuhan ketiga potensi kecerdasan ini.

Untuk bertarung dimedan laga (dunia paska kampus red.), modal yang dimiliki harus mencukupi baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Modal ini meliputi ilmu di bangku kuliah yang akan menghasilkan kecerdasan intelektual serta ilmu&pengalaman di bangku organisasi kemahasiswaan yang akan mengasah kecerdasan emosi dan soft skill. Peran organisasi kemahasiswaan sangat berperan dalam membentuk jati diri. Menurut Muhammad Hatta, salah satu tugas perguruan tinggi adalah membentuk manusia susila dan demokrat yang memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.

Berdirinya organisasi kemahasiswaan ITB (KM ITB) berdasar pada nilai luhur ini. Sehingga output yang diinginkan adalah mahasiswa yang mampu melihat kondisi bangsa dan tergugah pemikirannya untuk mencari solusi. Mengingat mahasiswa adalah iron stock bangsa, maka tidak seharusnya kehidupan mahasiswa diisolir dari kehidupan bangsa. Untuk mengetahui jalan terbaik memperbaiki bangsa, pertama dan utama yang harus mahasiswa lakukan adalah merasakan dari dekat denyut nadi masyarakat.

Fenomena yang terjadi saat ini, justru sebaliknya. Organisasi kemahasiswaan kehilangan gaung-nya karena telah lekang dimakan oleh gegap gempita hiburan duniawi. Apa benar mahasiswa baru akan memilih menghabiskan weekend-nya di tempat dugem dibanding di himpunan atau unit?? Entah. Namun, yang pasti sejak dikeluarkannya surat larangan kaderisasi himpunan setahun lalu, kaderisasi himpunan nyaris hilang. Apalagi pada tahun 2006 ini OSKM dilarang. Jadi jangan salahkan mahasiswa baru jika mereka tidak tahu apa-apa tentang kemahasiswaan.

Bicara tentang kaderisasi, di kampus ITB setiap Sabtu sore-Ahad tidak lagi terdengar OS. Terlepas dari baik-buruk OS ditiadakan, yang pasti mahasiswa baru tidak disibukkan oleh acara-acara kampus. Jadi, kita dapat menebak kemana mereka pergi pada akhir pekan? Apalagi mereka butuh ruang untuk bernapas setelah 5 hari otak dan fisik mereka diperas habis-habisan. Tuntutan akademis yang begitu berat tampaknya memberatkan mereka. Allahu’alam, ada kekhawatiran terhadap ketidakseimbangan pola pikir mereka. Kelak pemikiran mereka akan sangat duniawi-minded (kapitalis red.).

Lalu apa yang salah dengan kemahasiswaan kita? Karena pada dasarnya kita punya tujuan yang sama dengan visi-misi ITB. Kenapa kita tidak bisa sejalan? Ruang komunikasi telah dibuka, namun pada akhirnya solusi yang ditawarkan adalah melalui jalur hukum (Kongres-MWA red.). Apakah karena tidak ada lagi rasa percaya satu sama lain?

Jika sekilas kita runut ke belakang, berapa kali mahasiswa mendapatkan ‘surat larangan’? Sering? Atau bahkan setiap kali surat yang dikeluarkan berkenaan kemahasiswaan adalah larangan-larangan? Apakah ini bermasalah? Ya, masalahnya adalah karena pihak Institut tidak memberikan ruang gerak yang jelas dan bebas terhadap kemahasiswaan ITB. Dengan kata lain tidak ada pengarahan tentang koridor yang diperbolehkan.

Sungguh sangat mengherankan, ketika di muka dikutip bahwa “proses pendidikan dan pembelajaran di ITB harus mampu mengarahkan pemikiran seluruh sivitas akdemika, khususnya mahasiswa“, maka sangatlah wajar jika terlontar pertanyaan apakah mahasiswa tidak pernah dianggap dewasa. Karena melulu ‘arahan’ itu berupa larangan. Adakah yang salah dengan kemahasiswaan? Apa yang salah dengan mahasiswa? Sehingga ia tidak layak diberikan kepercayaan. Bukankah ‘larang-melarang’ adalah cara orang tua mendidik anaknya yang masih balita? Padahal saat ini diketahui bahwa metode pendidikan seperti itu tidak akan membuat si kecil tumbuh dan berkembang secara optimal. Apalagi jika itu terjadi pada mahasiswa, yang usianya jauh melampaui usia balita.

*ABCDE!!*
191206

:)

first of all....

bismillaahirrahmaannirraahiim...