Sunday, April 15, 2007

Perlukah Menyisakan Sebentuk Hati ?

Jika ingin menanyakan kepada orang tentang arti loyalitas dalam sebuah perjuangan hidup, mari tanyakan hal itu kepada petugas penjaga palang rel kereta api. Atau bisa juga menanyakan hal itu kepada petugas penjaga pintu air Manggarai, yang kemaren sempet masuk TV karena banjir Jakarta. Jawaban lugas, pendek dan mantap akan terdengar, namun kita tidak bisa selalu menangkap apakah itu menyisakan kesedihan atau dilingkupi kebahagiaan.

Kita tidak pernah bisa menakar dengan pasti tentang suatu hal. Manusia hanya bisa menera, berfikir dan memantapkan hati untuk bergerak berdasar itu. Kebutuhan akan uang dan dengan itu mereka hidup, menjadi alasan kuat dan logis yang dipegang selama berpuluh-puluh tahun mereka menjalani profesi itu. Hanya butuh sebentuk hati untuk mengiyakan tentang tanggung jawab-nya terhadap anak-istri, dan hanya butuh ruang yang kecil dalam jiwa untuk mengabdikan diri demi [keselamatan] orang lain.

Mungkin itu-lah awal mula tumbuhnya epik kepahlawanan manusia. Hanya manusia-manusia terpilih dan ‘dipilih’ yang mampu menjadi seperti pahlawan. Terpilih dan ‘dipilih’ bukan hanya karena takdir, tapi usaha dan do’a dalam memperjuangkan kehendak hati yang diyakini. Mekanisme ini juga terjadi pada orang jahat, yang telah kalah pada awal pertarungan, yaitu dalam alam pikir-nya.

Terlepas dari itu semua, keputusan untuk menjalani apa-apa yang diyakini adalah pilihan. Keberanian untuk menerima konsekuensi dari apa-apa yang dipilih adalah keberanian sesungguhnya. Kini, dunia yang semakin kacau ini membutuhkan orang-orang hebat yang sederhana, kesederhanaan yang bersumber dari ketawadhu’annya sebagai hamba Allah. Mereka adalah orang-orang yang menggenggam dunia dengan tangannya, tapi tidak dengan hatinya.

Jika kita pernah memiliki sebuah idealisme tentang kehidupan ideal seperti yang sering dikisahkan dalam Sirah Nabawiyah tentang keagungan sifat Rasulullah saw. –the greatest man on earth that have ever been, kisah para sahabat, atau khalifah mulia seperti Umar bin Abdul Azis yang mengajarkan nilai zuhud di atas kemilau dunia, pastinya kini kita berada di sekeliling orang yang memiliki kesepahaman menjadi sebuah penguatan tersendiri.

Dengan orang-orang yang memiliki visi-misi yang sama tentang perjuangan dunia, akselerasi diri dan kolaborasi potensi menjadi sebuah kekuatan untuk melakukan perbaikan di dunia yang semakin kacau ini, sekecil apapun. Namun, apa yang terjadi ketika ternyata orang-orang tersebut ternyata ‘sekacau’ dunia ini ditambah oleh sistem yang mengayomi tak mampu ‘berlari’ bersama dengan membawa nilai luhur yang asli. Masih perlukah menyisakan sebentuk hati pada kelompok ini? Hanya sabar dan do’a yang bisa dilakukan karena segala cara dalam rangka perbaikan, mungkin, telah ditempuh and it didn’t work.

Benar-lah perkataan seorang pemikir Barat yang mengatakan, ‘Kita membutuhkan orang seperti Muhammad untuk dapat menyelesaikan seluruh permasalahan dunia, sembari meminum secangkir kopi.’ Ternyata benar, sehebat apapun kita secara pemikiran, tidak akan memberikan hasil ketika kita tidak memiliki dan mewarisi akhlak Rasulullah. Karena hanya dengan itu seharusnya kita mulai bergerak, dengan kekuatan keimanan, bukan dimulai dengan otak dan retorika. Jadi, apa yang seharusnya kita tempuh sekarang? Perlukah menyisakan sebentuk hati dan tetap bersama-sama ataukah ada pilihan lain?

160407
Jangan-jangan skeptisme dan egoisme mulai tumbuh... Astaghfirullah,

1 comment:

Trian Hendro A. said...

Masih perlukah menyisakan sebentuk hati pada kelompok ini?

Perlukah menyisakan sebentuk hati dan tetap bersama-sama ataukah ada pilihan lain?


jika itu perlu, setidaknya sebagai latihan kedewasaan kita.