Tuesday, January 23, 2007

Ada Apa dengan Kita?

I’ve seen this place a thousand times….

Itu yang terbesit ketika siang ini duduk nyantei di lapangan segitiga CC Timur. Ribuan kali tempat ini telah dilewati, sejak bangunan ‘bersejarah’ SC a.k.a sekre kabinet itu hancur, sampai saat ini. Tapi, apa yang didapatkan? Pemahaman ttg apa yang telah tempat ini berikan? Atau jangan-jangan ribuan langkah itu hanya berlalu sia-sia. Sayang kalo gitu mah…

Di lapangan tetangganya (lapangan basket, red) rame oleh anak-anak himpunan paska pertandingan basket. Sedangkan di tempat ini, di lapangan segitiga ini, anak-anak MBWG lagi asyik latihan, cewe-cewe yang nari-nari pake bendera itu loh (apa ya namanya?).

Mereka menari dengan teratur, berirama, dan kompak. Pastinya itu semua karena kemauan dan ketelatenan mereka dalam latihan. Di sisi lain, anak-anak basket (ato anak himpunan ya?) begitu antusias dan gembira-nya memainkan bola oranye itu. Meski peluh membanjiri rambut mereka. Tepat di sebelah selatan, anak-anak MBWG yang memainkan alat musik bisa menghasilkan alunan yang asyik, pas banget untuk kongkow siang-siang di bawah pohon rindang.

I’ve seen this place a thousand times….

Anak ITB punya otak di atas rata-rata, seenggaknya itu dibuktikan oleh keberhasilan memasuki kampus ini. Kalau pun bisa masuk karena dibantu bimbel, setidaknya mereka memang punya bibit otak yang bagus. Hanya saja ada satu pertanyaan yang mengganjal. Mengapa mereka tidak ‘bisa&mau’ menekuni hal-hal yang berbau politik? Politik dalam hal ini adalah segala sesuatu yang terkait dengan kemashlahatan masyarakat. Jelas terlihat saat ini rakyat masih selalu menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan.

Jika mahasiswa/i ITB bisa menari, bermain musik, dan basket se-serius itu, apa yang menyebabkan masalah-masalah sosial menjadi tidak menarik. Apakah karena bahasan tentang ini ‘sangat berat’ sehingga membosankan? Tapi bukankah mereka adalah mahasiswa/i dari salah satu kampus terbaik di negara ini, pastinya kapasitas otak-nya juga keren. Ada apa ya dengan semua semangat kepemudaan itu? Yang katanya dinamis, kritis, dan ‘pembela keadilan’. Tampak ada yang hilang dari mereka, tapi apa ya?

I’ve seen this place a thousand times….

Meskipun jawaban atas pertanyaan tadi telah ditemukan beserta kondisi-kondisi eksternal yang mempengaruhinya, tapi tetap saja, ada yang hilang dari pemuda-pemuda ini.

Ada perbedaan antara satu mahasiswa dengan mahasiswa, antara satu individu dengan individu lainnya, dalam memaknai sesuatu sepanjang kehidupannya. Satu hal yang terlihat penting bisa jadi tidak penting jika dipandang oleh orang lain. Ini dikarenakan perbedaan sudut pandang masing-masing orang.

Satu hal lagi yang paling berpengaruh, menurut saya, adalah emosi. Karena, menurut Goleman –penulis Emotional Intelligence dalam ceramahnnya di University of Massachussets, sebuah kekuatan yang signifikan dalam membentuk nilai-nilai kita adalah emosi-emosi kita. Keputusan yang berkaitan dengan etika tidak hanya dibuat oleh pusat-pusat rasional di otak, tetapi juga oleh pusat-pusat penggerak emosi. Hal inilah yang menyusun kemampuan manusia untuk menetapkan makna. Jadi, memang benar bahwa otak saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah bangsa karena diperlukan hati yang cukup pula.

Apa benar mahasiswa/i ITB sekarang tak ber-emosi?? Wallahu’alam,

240107:1541

4 comments:

agung said...

Pendapat saya, emosi sebagai faktor pendukung. Yang utama adalah tujuan hidup. Betapa banyak motivasi kandas karena arah yang salah? Semangat yang luntur karena harapan yang semu?

Karena empat tahun itu adalah masa yang cukup tepat untuk mengenali diri kita.

Ahmad Arafat said...

Assalamu alaikum...

Hmm, menurut sy, yg sekarang menumpulkan "politisme" (bener gak nih istilahnya?) di kalangan mahasiswa khususnya - dan pemuda pada umunya - ialah semakin memudarnya 'sense of crisis' kita...

Bandingkan jaman perjuangan kemerdekaan dulu, dimana Bung Karno yang berasal dari ITB mampu menjadi lokomotif perjuangan kemerdekaan nasional... Itu karena adanya reaksi logis yang muncul dari pengamatan yang terjadi di tengah masyarakat...

Jika ditanyakan, mengapa hal tersebut tidak terjadi sekarang, bukankah fenomena yang terjadi di masyarakat juga tertangkap oleh "kita" yang ada di dunia kampus? Jawabnya, karena kita sedemikian teralihkan dan terjebak oleh berbagai dogma dan gaya hidup yang membuat kepedulian sosial kita tumpul.. yang ada hanyalah egosentris, hedonisme, dan kepentingan pada diri sendiri... hal ini turut ditunjang oleh bergesernya norma dan pranata sosial yang semakin mempersempit ruang gerak dan ruang pandang kita terhadap fenomena sosial di masyarakat...

Alhasil, itu semua menyebabkan 'mutasi' kesadaran sosial.. sehingga apa yang dulunya tampak sangat berbahaya (dan urgen untuk diperhatikan) kini hanya dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak mengancam...

Semoga Bermanfaat...

Wassalamu alaikum...

ratih putri said...

pro agung:
emosi sbg faktor pendukung?!saya ga sependapat krn ia berada dlm satu jenjang kepentingan dengan tujuan hidup.kedua-nya adl 2 sisi mata uang yg ga bisa dipisahkan.

tujuan bagai target yg diarah dan emosi adl penjaga kesadaran/koridor gerak menuju target itu.

apalagi setelah sy tahu bahwa emosi itu terkait dengan perkembagan otak.dengan kata lain ada ketergantungan antara alam pikir logika dan emosi.WABS

pro anjasah:
saya sepakat.memang itu permasalahannya,apakah yg menyebabkan itu?perbedaan cara pandang kita,kan...dan itu dipelopori pula oleh emosi.misalnya gini, kita paham bahwa di sekitar kt byk kesenjangan sosial,tp yg membuat kt bergerak adl kematangan emosi kt.

agung said...

he he.. ok, ok boleh juga. Tergantung persepsi..
Tapi karena ratih kebanyakan sering mengutip Anis Matta, jadi saya kasih satu kutipan beliau :

Apa yang menggerakkan kepahaman/kesadaran? Jawabannya adalah Kehendak...